Kamis, 28 November 2013

3 Model Pembelajaran Kurikulum 2013

 PROJECT BASED LEARNING

Thomas,dkk (1999), dalam Wena (2009) Pembelajaran Berbasis Proyek (Project Based Learning) merupakan model pembelajaran yang memberikan kesempatan kepada guru untuk mengelola pembelajaran di kelas dengan melibatkan kerja proyek. Kerja proyek memuat tugas – tugas yang kompleks berdasarkan kepada pertanyaan dan permasalahan (problem) yang sangat menantang, dan menuntut peserta didik untuk merancang, memecahkan masalah, membuat keputusan, melakukan kegiatan investigasi, serta memberikan kesempatan kepada siswa untuk bekerja secara mandiri . Tujuannya agar siswa mempunyai kemandirian dalam menyelesaikan tugas yang dihadapinya.
Pembelajaran Berbasis Proyek (Project Based Learning) memiliki sintak: (1) Starts With the Essential Question, (2) Design a Plan for the Project, (3) Creates a Schedule, (4) Monitor the Students and the Progress of the Project, (5) Assess the Outcome, (6) Evaluate the Experiences. 
  • Tahap pertama sintak pembelajaran Project Based Learning adalah “Starts With the Essential Question”. Pembelajaran diawali dengan suatu pertanyaan esensial. Pertanyaan ini bisa muncul dari pengajar ataupun dari peserta didik atau kolaborasi antara keduanya. Pertanyaan esensial inilah yang akan menjadi sentral dalam Project Based Learning.
  • Tahap kedua sintak pembelajaran Project Based Learning adalah “Design a Plan for the Project”. Pada tahap ini, siswa bersama-sama guru secara kolaboratif merencanakan sebuah proyek untuk menyelesaikan pertanyaan yang telah dirumuskan pada tahap pertama. Agar tepat dalam mendesain proyek, maka dilakukan penggalian informasi yang terkait dengan pertanyaan. Proses ini dilakukan melalui bertanya kepada narasumber, diskusi dengan guru atau siswa lain, kajian literatur berupa buku maupun searching di internet. Apabila informasi sudah cukup, maka dengan mudah siswa secara kolaboratif dapat merancang suatu proyek. Aktivitas “Design a Plan for the Project” pada Project Based Learning, dengan demikian dapat disetarakan dengan aktivitas ”melakukan kajian teoritis (research)”, dan ”mengkonstruksi hipotesis”. Hal ini dikarenakan pada tahap “Design a Plan for the Project”, siswa mengumpulkan berbagai informasi dari berbagai sumber. Setelah informasi terkumpul, siswa membuat dugaan-dugaan sebagai jawaban sementara atas pertanyaan pada tahap sebelumnya, sehingga mampu mendesain suatu proyek dengan lebih akurat.
  • Tahap ketiga dan keempat sintak pembelajaran Project Based Learning adalah “Creates a Schedule” dan “Monitor the Students and the Progress of the Project”. Pada tahap ini, siswa membuat jadwal pelaksanaan proyek dan sekaligus menjalankan proyek di bawah monitor gurun. Inti pelaksanaan proyek dilakukan pada tahap ini. siswa melakukan observasi dan atau eksperimen dengan cara yang telah didesain pada tahap sebelumnya. Dengan demikian, tahap ketiga dan keempat Project Based Learning, “menjalankan observasi dan atau eksperimen”.
  • Tahap kelima sintak pembelajaran Project Based Learning adalah Assess the Outcome. Outcome dapat dimaknai sebagai keseluruhan hasil (produk) selama aktivitas menjalankan proyek. Dengan demikian, tahap ini dilakukan setelah proyek selesai dijalankan. Outcome dinilai untuk membantu guru dalam mengukur ketercapaian standar kompetensi, mengetahui kemajuan masing-masing siswa, memberi umpan balik tentang tingkat pemahaman yang sudah dicapai siswa, dan membantu guru dalam menyusun strategi pembelajaran berikutnya. Penilaian terhadap outcome dengan demikian merupakan aktivitas menganalisis produk dari proyek yang sudah dijalankan siswa. Apakah hasil observasi dan atau eksperimen sudah dapat digunakan untuk menjawab pertanyaan yang dimunculkan pada bagian awal pembelajaran? Jika sudah, maka siswa telah mampu menyimpulkan inti persoalan adanya proyek. Assess the Outcome, dengan demikian dapat disetarakan dengan aktivitas “menganalisis data dan membuat kesimpulan”
  • Tahap keenam sintak pembelajaran Project Based Learning adalah Evaluate the Experiences. Pada akhir proses pembelajaran, guru dan siswa melakukan refleksi terhadap aktivitas dan hasil proyek yang sudah dijalankan. Pada tahap ini, siswa diminta untuk mengungkapkan perasaan dan pengalamanya selama menyelesaikan proyek. Guru dan siswa mengembangkan diskusi dalam rangka memperbaiki kinerja selama proses pembelajaran sehingga pada akhirnya ditemukan suatu temuan baru (new inquiry) untuk menjawab permasalahan yang diajukan pada tahap pertama pembelajaran. Dengan kata lain, pada tahap ini terjadi proses presentasi hasil proyek dihadapan guru dan 

Pembelajaran berbasis proyek (PBL) merupakan metode belajar yangmenggunakan masalah sebagai langkah awal dalam pengumpulan danmengintegrasikan pengetahuan baru berdasarkan pengalamannya dalamberaktivitas secara nyata. PBL dirancang untuk digunakan pada permasalahankomplek yang diperlukan pelajaran dalam melakukan investigasi danmemahaminya berikut pengertian PBL menurut beberapa ahli.
  1. Thomas Mergendoller dan Michaelson mengatakan PBL adalah metodepengajaran sistematik yang mengikutsertakan pelajaran ke dalampembelajaran pengetahuan dan keahlian yang kompleks, pertanyaanautentik dan perancangan produk dan tugas.
  2. Baron B. mengatakan PBL adalah pendekatan cara pembelajaran secarakonstruktif untuk pendalaman pembelajaran dengan pendekatan berbasisriset terhadap permasalahan dan pertanyaan yang berbobot, nyata relevanbagi kehidupannya. 
  3. Blumenfeld menjelaskan bahwa PBL adalah pendekatan komprehensif untuk pengajaran dan pembelajaran yang dirancang agar pelajaran melakukan riset terhadap permasalahan nyata.
  4. Boud dan Felleti mengemukakan PBL adalah cara yang konstruktif dalam pembelajaran menggunakan permasalahan sebagai stimulus dan berfokusaktivitas pelajar.
  5. Moeslichatoen dalam bukunya “metode pengajaran di taman kanakkanak”mengatakan bahwa model pembelajaran berdasarkan proyek (PBL)adalah suatu metode pembelajaran yang memberikan pengalaman belajardengan menghadapkan anak dengan persoalan sehari-hari yang harus dipecahkan secara berkelompok. Menurut hasil penelitian terdapat hubunganyang erat antara proses memperoleh pengalaman yang sebenarnya dengan pendidikan. Oleh karena itu, pendidikan bagi anak harus diintegrasikan dengan lingkungan kehidupan anak yang banyak menghadapkan anak dengan pengalaman langsung.


Pembelajaran Berbasiskan Proyek berasal dari gagasan John Dewey tentang konsep “Learning by Doing” yakni proses perolehan hasil belajar dengan mengerjakan tindakan-tindakan tertentu sesuai dengan tujuannya, terutama penguasaan anak tentang bagaimana melakukan sesuatu pekerjaanyang terdiri atas serangkaian tingkah laku untuk mencapai suatu tujuan. 
Project Based Learning merupakan sebuah model pembelajaran yang sudah banyak dikembangkan di negara-negara maju seperti Amerika Serikat. Jika diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, Project Based Learning bermakna sebagai pembelajaran berbasis proyek. Definisi secara lebih komperehensif tentang Project Based Learning menurut The George Lucas Educational Foundation (2005) adalah sebagai berikut :
  1. Project-based learning is curriculum fueled and standards based. Project Based Learning merupakan pendekatan pembelajaran yang menghendaki adanya standar isi dalam kurikulumnya. Melalui Project Based Learning, proses inquiry dimulai dengan memunculkan pertanyaan penuntun (aguiding question) dan membimbing peserta didik dalam sebuah proyek kolaboratif yang mengintegrasikan berbagai subjek (materi) dalam kurikulum. Pada saat pertanyaan terjawab, secara langsung peserta didik dapat melihat berbagai elemen mayor sekaligus berbagai prinsip dalam sebuah displin yang sedang dikajinya (The George Lucas Educational Foundation: 2005). 
  2. Project-based  Learning adalah model pembelajaranyang menuntut pengajar dan atau peserta didik mengembangkan pertanyaan penuntun (a guiding question). Mengingat bahwa masingmasing peserta didik memiliki gaya belajar yang berbeda, maka Project Based Learning memberikan kesempatan kepada para peserta didik untuk menggali konten (materi) dengan menggunakan berbagai cara yang bermakna bagi dirinya, dan melakukan eksperimen secara kolaboratif. Hal ini memungkinkan setiap peserta didik pada akhirnya mampu menjawab pertanyaan penuntun (The George Lucas Educational Foundation: 2005). 
  3. Project-based learning asks students to investigate issues and topics addressing real-world problems while integrating subjects across the curriculum. Project Based Leraning merupakan pendekatan pembelajaran yang menuntut peserta didik membuat “jembatan” yang menghubungkan antar berbagai subjek materi. Melalui jalan ini, peserta didik dapat melihat pengetahuan secara holistik. Lebih daripada itu, Project Based Learning merupakan investigasi mendalam tentang sebuah topik dunia nyata, hal ini akan berharga bagi atensi dan usaha peserta didik (The George Lucas Educational Foundation: 2005).
  4. Project-based learning is a method that fosters abstract, intellectual tasks to explore complex issues. Project Based Learning merupakan pendekatan pembelajaran yang memperhatikan pemahaman. Peserta didik melakukan eksplorasi, penilaian, interpretasi dan mensintesis informasi melalui carayang bermakna. (The George Lucas Educational Foundation: 2005).


Pendekatan Pembelajaran Berbasis Proyek didukung teori belajar konstruktivisme yang menyatakan bahwa struktur dasar suatu kegiatan terdiri atas tujuan yang ingin dicapai sebagai subyek yang berada di dalam konteks suatu masyarakat di mana pekerjaan itu dilakukan dengan perantaraan alat-alat, peraturan kerja, pembagian tugas dalam penerapan di kelas bertumpu pada kegiatan aktif dalam bentuk melakukan suatu (doing) daripada kegiatan pasif “menerima” transfer pengetahuan dari pengajar.

Hubungan Problem Based Learning dan Project Based Learning

Pendekatan Pembelajaran Berbasis Proyek (project-based learning) ini merupakan adaptasi dari pendekatan pembelajaran berbasis masalah (problem-based learning) yang awalnya berakar pada pendidikan medis (kedokteran). Pendidikan medis menaruh perhatian besar terhadap fenomena praktisi medis muda yang memiliki pengetahuan faktual cukup tetapi gagal menggunakan pengetahuannya saat menangani pasien sungguhan (Maxwell, Bellisimo, & Mergendoller, 1999). Setelah melakukan pengkajian bagaimana tenaga medis didik, pendidikan medis mengembangkan program pembelajaran yang men-cemplung-kan siswa ke dalam skenario penanganan pasien baik simulatif ataupun sungguhan. Proses ini kemudian dikenal sebagai pendekatan problem-based learning. Kini, problem-based learning diterapkan secara luas pada pendidikan medis di negara-negara maju.
Berdasarkan pengalaman pada pendidikan medis, pendekatan problem-based learning diadaptasi menjadi model project-based learning untuk pendidikan teknologi dan kejuruan, terutama program kompetensi produktif. Keduanya menekankan lingkungan belajar siswa aktif, kerja kelompok (kolaboratif), dan teknik evaluasi otentik (authentic assessment). Perbedaannya terletak pada perbedaan objek. Kalau dalam problem-based learning pendidik lebih didorong dalam kegiatan yang memerlukan perumusan masalah, pengumpulan data, dan analisis data (berhubungan dengan proses diagnosis pasien); maka dalam project-based learning pendidik lebih didorong pada kegiatan desain: merumuskan job, merancang (designing), mengkalkulasi, melaksanakan pekerjaan, dan mengevaluasi hasil.

Karakteristik Project Based Learning
Pembelajaran berbasis proyek memiliki potensi yang besar untuk memberikan pengalaman belajar yang lebih menarik dan bermakna bagi siswa ( Gear, 1998). Sedangkan menurut Buck Institute for Education (1999), bahwa pembelajaran berbasis proyek memiliki karakteristik sebagai berikut:
a. Pelajar membuat keputusan dan membuat kerangka kerja
b. Terdapat masalah yang pemecahannya tidak ditentukan sebelumnya
c. Pelajar merancang proses untuk mencapai hasil
d. Pelajar bertanggungjawab untuk mendapatkan dan mengelola informasi yang dikumpulkan
e. Melakukan evaluasi secara kontinuw
f. Pelajar secara teratur melihat kembali apa yang mereka kerjakan
g. Hasil akhir berupa produk dan dievalusi kualitasnya
h. Kelas memiliki atmosfer yang member toleransi kesalahan dan perubahan

Prinsip – prinsip PBL

Menurut Thomas (2000), pembelajaran berbasis proyek memiliki lima prinsip, yaitu:
a. Keterpusatan (centrality)
Proyek dalam Pembelajaran Berbasis Proyek adalah pusat atau inti kurikulum, bukan pelengkap kurikulum. Di dalam Pembelajaran Berbasis Proyek, proyek adalah strategi pembelajaran; pelajar mengalami dan belajar konsep-konsep inti suatu disiplin ilmu melalui proyek. Ada kerja proyek yang mengikuti pembelajaran tradisional dengan cara proyek tersebut memberi ilustrasi, contoh, praktik tambahan, atau aplikasi praktik yang diajarkan sebelumnya dengan maksud lain. Akan tetapi, menurut kriteria di atas, aplikasi proyek tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai Pembelajaran Berbasis Proyek. Kegiatan proyek yang dimaksudkan untuk pengayaan di luar kurikulum juga tidak termasuk Pembelajaran Berbasis Proyek.

b. Berfokus pada Pertanyaan atau Masalah
Proyek dalam Pembelajaran Berbasis Proyek adalah terfokus pada pertanyaan atau masalah, yang mendorong pelajar menjalani (dengan kerja keras) konsep-konsep dan prinsip-prinsip inti atau pokok dari disiplin. Kriteria ini sangat halus dan agak susah diraba. Definisi proyek (bagi pelajar) harus dibuat sedemikian rupa agar terjalin hubungan antara aktivitas dan pengetahuan konseptual yang melatarinya yang diharapkan dapat berkembang menjadi lebih luas dan mendalam (Baron, Schwartz, Vye, Moore, Petrosino, Zech, Bransford, & The Cognition and Technology Group at Vanderbilt, 1998). Biasanya dilakukan dengan pengajuan pertanyaan-pertanyaan atau ill-defined problem (Thomas, 2000). Proyek dalam Pembelajaran Berbasis Proyek mungkin dibangun di sekitar unit tematik, atau gabungan (intersection) topik-topik dari dua atau lebih disiplin, tetapi itu belum sepenuhnya dapat dikatakan sebuah proyek. Pertanyaan-pertanyaan yang mengejar pelajar, sepadan dengan aktivitas, produk, dan unjuk kerja yang mengisi waktu mereka, harus digubah (orchestrated) dalam tugas yang bertujuan intelektual (Blumenfeld, et al., 1991).

c. Investigasi Konstruktif atau Desain
Proyek melibatkan pelajar dalam investigasi konstruktif. Investigasi mungkin berupa proses desain, pengambilan keputusan, penemuan masalah, pemecahan masalah, diskoveri, atau proses pembangunan model. Akan tetapi, agar dapat disebut proyek memenuhi kriteria Pembelajaran Berbasis Proyek, aktivitas inti dari proyek itu harus meliputi transformasi dan konstruksi pengetahuan (dengan pengertian: pemahaman baru, atau keterampilan baru) pada pihak pebelajar (Bereiter & Scardamalia, 1999). Jika pusat atau inti kegiatan proyek tidak menyajikan “tingkat kesulitan” bagi anak, atau dapat dilakukan dengan penerapan informasi atau keterampilan yang siap dipelajari, proyek yang dimaksud adalah tak lebih dari sebuah latihan, dan bukan proyek Pembelajaran Berbasis Proyek yang dimaksud. Membersihkan peralatan laboratorium mungkin sebuah proyek, akan tetapi mungkin bukan proyek dalam Pembelajaran Berbasis Proyek.

d. Otonomi
Proyek mendorong pelajar sampai pada tingkat yang signifikan. Proyek dalam Pembelajaran Berbasis Proyek bukanlah ciptaan guru, tertuliskan dalam naskah, atau terpaketkan. Latihan laboratorium bukanlah contoh Pembelajaran Berbasis Proyek, kecuali jika berfokus pada masalah dan merupakan inti pada kurikulum. Proyek dalam Pembelajaran Berbasis Proyek tidak berakhir pada hasil yang telah ditetapkan sebelumnya atau mengambil jalur (prosedur) yang telah ditetapkan sebelumnya. Proyek Pembelajaran Berbasis Proyek lebih mengutamakan otonomi, pilihan, waktu kerja yang tidak bersifat rigid, dan tanggung jawab pelajar daripada proyek trandisional dan pembelajaran tradisional.

e. Realisme
Proyek adalah realistik. Karakteristik proyek memberikan keontentikan pada pelajar. Karakteristik ini boleh jadi meliputi topik, tugas, peranan yang dimainkan pelajar, konteks dimana kerja proyek dilakukan, kolaborator yang bekerja dengan pelajar dalam proyek, produk yang dihasilkan, audien bagi produk-produk proyek, atau kriteria di mana produk-produk atau unjuk kerja dinilai. Pembelajaran Berbasis Proyek melibatkan tantangan-tantangan kehidupan nyata, berfokus pada pertanyaan atau masalah otentik (bukan simulatif), dan pemecahannya berpotensi untuk diterapkan di lapangan yang sesungguhnya.

Pembelajaran berbasis proyek bisa menjadi bersifat revolusioner di dalam isu pembaruan pembelajaran. Proyek dapat mengubah hakikat hubungan antara guru dan pelajar. Proyek dapat mereduksi kompetisi di dalam kelas dan mengarahkan pelajar lebih kolaboratif daripada kerja sendiri-sendiri. Proyek juga dapat menggeser fokus pembelajaran dari mengingat fakta ke eksplorasi ide.


Langkah – Langkah PBL
Langkah – langkah pembelajaran berbasis proyek dilaksanakan dalam 3 tahap (Anita, 2007:25) yaitu:
1) Tahapan perencanaan proyek
Adapun langkah – langkah perencanaan tersebut adalah sebagai berikut:
a. Merumuskan tujuan pembelajaran yang ingin dicapai
b. Menentukkan topik yang akan dibahas
c. Mengelompokan siswa dalam kelompok – kelompok kecil berjumlah 4 – 5 orang dengantingkat kemampuan beragam
d. Merencang dan menyusun LKS
e. Merancang kebutuhan sumber belajar.
f. Menetapkan rancangan penilaian 

2) Tahap pelaksanaan
Siswa dalam masing – masing kelompok melaksanakan proyek dengan melakukan investigasi atau berpikir dengan kemampuannya berdasarkan pada pengalaman yang dimiliki. Kemudian diadakan diskusi kelompok. Sementara guru membimbing siswa yang mengalami kesulitan dengan betindak sebagai fasilitator.

3) Tahap penilian
Pada tahap ini, guru melakukan evaluasi terhadap hasil kerja masing –masing kelompok. Berdasarkan penilaian tersebut, guru dapat membuat kesimpulan apakah kegiatan tersebut perlu diperbaiki atau tidak, dan bagian mana yang perlu diperbaiki.
Pengimplementasian pembelajaran berbasis proyek tidak terlepas dari kurikulum, pertanggungjawaban, realism, belajar aktif, umpan balik, pengetahuan umum, pertanyaan yang memacu, investigasi konstruktif, serta otonomi. Purnawan (Muliawati, 2010:11) mengungkapkan bahwa pembelajaran berbasis proyek mengacu pada hal –hal sebagai berikut:
1. Curriculum: memerlukan suatu strategi sasaran dimana proyek sebagai pusat
2. Responsibility: PBL menekankan responsibility dan answerbility para siswa ke dari dan panutannya
3. Realism: kegiatan siswa difokuskan pada pekerjaan yang serupa dengan situasi yang sebenarnya
4. Active learning: menumbuhkan isu yang berunjung pada pertanyaan dan keinginan siswa untuk menemukan jawaban yang relevan, sehingga dengan demikian telah terjadi proses pembelajaran yang mandiri.
5. Feedback: diskusi, presentasi dan evaluasi terhadap para siswa menghasilkan umpan balik yang berharga. Ini mendorng kearah pembelajaran berdasarkan pengalaman
6. General skill: pembelajaran berbasis proyek dikembangkan tidak hanya pada keterampilan pokok dan pengetahuan saja, tetapi juga mempunyai pengaruh besar bagi keterampilan yang mendasar, seperti pemecahan masalah, kerja kelompok, dan self management
7. Driving question: pembelajaran berbasis proyek difokuskan pada pertanyaan atau permasalahan yang memicu siswa untuk berbuat menyelesaikan permasalahan dengan konsep, prinsip dan ilmu pengetahuan yang sesuai.
8. Constuctive investigations: sebagai titik pusat, proyek harus disesuaikan dengan pengetahuan para siswa
9. Autonomy: proyek menjadikan aktivitas siswa sangat penting

Peran Guru dan Siswa dalam PBL
Menurut Cord et al. (Khamdi, 2007) pembelajaran berbasis proyek adalah suatu model atau pendekatan pembelajaran yang inovatif, yang menekankan belajar kontekstual melalui kegiatan – kegiatan yang kompleks. Pembelajran berbasis proyek adalah penggunaan proyek sebagai model pembelajaran. Proyek – proyek meletakkan siswa dalam sebuah peran aktif yaitu sebagai pemecah masalah, pengambilan keputusan, peneliti, dan pembuat dokumen.
Pembelajaran berbasis proyek berangkat dari pandangan konstruktivism yang mengacu pada pendekatan kontekstual (Khamdi, 2007). Dengan demikian, pembelajaran berbasis proyek merupakan metode yang menggunakan belajar kontekstual, dimana para siswa berperan aktif untuk memecahkan masalah, mengambil keputusan, meneliti, mempresentasikan, dan membuat dokumen. Pembelajaran berbasis proyek dirancang untuk digunakan pada permasalahan kompleks yang diperlukan siswa dalam melakukan investigasi dan memahaminya.
Menurut Waras Khamdi, selama berlangsungnya proses pembelajaran berbasis proyek, pelajar akan mendapatkan bimbingan dari narasumber atau fasilitator, dimana peran fasilitator:

Peran Guru
1. Mengajar kelompok dan menciptakan suasana yang nyaman
2. Memastikan bahwa sebelum dimulai, setiap kelompok telah memiliki seorang anggota yang bertugas membaca materi, sementara teman – temannya mendengarkan, dan seorang anggota yang bertugas mencatat informasi yang penting sepanjang jalannya diskusi
3. Memberikan materi atau informasi pada saat yang tepat, sesuai dengan perkembangan kelompok.
4. Memastikan bahwa setiap sesi diskusi kelompok diakhiri dengan self-evalution.
5. Menjaga agar kelompok terus memusatkan perhatian pada pencapaian tujuan.
6. Memonitor jalannya diskusi dan membuat catatan tentang berbagai masalah yang muncul dalam proses belajar, serta mengajar agar proses belajar terus berlangsung. Dengan tujuan agar setiap tahapan dalam proses belajar tidak dilewati atau diabaikan, sehingga tiap tahapan dilakukan dalam urutan yang tepat.
7. Menjaga motivasi pelajar dengan mempertahankan unsur tantangan dalam penyelesaian tugas dan juga mempertahankan untuk mendorong pelajaran keluar dari kesulitan.
8. Membimbing proses belajar dengan mengajukan pertanyaan yang tepat pada saat yang tepat, secara mendalam tentang berbagai konsep, ide, penjelasan, sudut pandang, dsb.
9. Mengevaluasi kegiatan belajar termasuk partisipasi pelajar dalam proses kelompok. Pengajar perlu memastikan bahwa setiap pelajar terlibat dalam proses kelompok dan berbagai pemikiran dan pandangan.

Peran Siswa
1. Menggunakan kemampuan bertanya dan berpikir
2. Melakukan riset sederhana
3. Mempelajari ide dan konsep baru
4. Belajar mengatur waktu dengan baik
5. Melakukan kegiatan belajar sendiri/kelompok
6. Mengaplikasikan belajar lewat tindakan
7. Melakukan interaksi social (wawancara, survei, observasi, dll)
8. Kegiatan lebih banyak pada kerja kelompok.

Ciri pembelajaran berbasis proyek menurut Center For Youth Development and Education Boston (Muliawati, 2010:10) yaitu:
  1. Melibatkan para siswa dalam masalah – masalah kompleks, persoalan – persoalan dunia nyata, dimana pun para siswa dapat memilih dan menetukan persoalan atau masalah yang bermakna
  2. Para siswa diharuskan menggunakan penyelidikan, penelitian keterampilan perencanaan, berpikir kritis dan kemampuan memecahkan masalah saat mereka menyelesaikan proyek.
  3. Para siswa diharapkan mempelajari dan menerapkan keterampilan dan pengetahuan yang dimilikinya dalam berbagai konteks ketika mengerjakan proyek.
  4. Memberikan kesempatan bagi siswa untuk belajar dan mempraktekkan keterampilan pribadi pada saat mereka bekerja dalam tim kooperatif, maupun saat mendiskusikan dengan guru.
  5. Memberikan kesempatan bagi para siswa mempraktekan berbagai keterampilan yang dibutuhkan untuk kehidupan dewasa mereka dan karir (bagaimana mengalokasikan waktu, menjadi individu yang bertanggung jawab, keterampilan pribadi, belajra melalui pengalaman).
  6. Menyampaikan harapan mengenai prestasi/hasil pembelajaran (ini disesuaikan dengan standard an tujuan pembelajaran untuk sekolah/negara.
  7. Melakukan refleksi yang mengarahkan siswa untuk berpikir kritis tentang pengalaman mereka dan menghubungkan pengalaman dengan pelajaran.
  8. Berakhir dengan presentasi atau produk yang menunjukkan pembelajaran dan kemudian dinilai (kriteria dapat ditentukan oleh para siswa) 




 DISCOVERY LEARNING  

Metode penemuan diartikan sebagai suatu prosedur mengajar yang mementingkan pengajaran, perseorangan, manipulasi objek dan lain-lain percobaan, sebelum sampai kepada generalisasi. Sebelum siswa sadar akan pengertian, guru tidak menjelaskan dengan kata-kata. Metode penemuan merupakan komponen dari praktik pendidikan yang meliputi metode mengajar yang memajukan cara belajar aktif, berorientasi pada proses, mengarahkan sendiri, mencari sendiri, dan reflektif.  Menurut Ensiklopedia of Educational Research, “penemuan merupakan suatu strategi yang unik dapat diberi bentuk oleh guru dalam berbagai cara, termasuk mengajarkan berbagai keterampilan menyelidiki dan memecahkan masalah sebagai alat bagi siswa untuk mencapai tujuan pendidikannya” (Suryosubroto, 2009). 
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa metode penemuan itu adalah suatu metode di mana dalam proses belajar mengajar guru memperkenankan siswa-siswanya menemukan sendiri informasi yang secara tradisional biasa diberitahukan atau diceramahkan saja. 
Menurut Bruner dalam Arends (2008), discovery learning merupakan sebuah metode pengajaran yang menekankan pentingnya membantu siswa untuk memahami struktur atau ide-ide kunci suatu disiplin ilmu, kebutuhan akan keterlibatan aktif siswa dalam proses belajar, dan keyakinan bahwa pembelajaran sejati terjadi melalui personal discovery (penemuan pribadi). Belajar penemuan mengakibatkan keigintahuan siswa, memberi motivasi untuk bekerja terus sampai menemukan jawaban. Lagi pula metode ini dapat mengajarkan keterampilan-keterampilan memecahkan masalah tanpa pertolongan orang lain, dan meminta para siswa untuk menganalisis dan memanipulasi, tidak hanya menerima saja. 
Dalam metode discovery learning, siswa-siswa hendaknya belajar melalui berpartisipasi secara aktif dengan konsep-konsep dan prinsip-prinsip, agar mereka memperoleh pengalaman, dan melakukan eksperimen-eksperimen yang mengizinkan mereka untuk menemukan prinsip-prinsip itu sendiri. Pengetahuan yang diperoleh dengan belajar penemuan menunjukkan kebaikan-kebaikan, diantaranya pengetahuan itu bertahan lama atau lama diingat, atau lebih mudah diingat. 

Langkah-langkah Pelaksanaan Metode Penemuan 
Ibrahim dan Nur dalam Asnawi (2009), menjelaskan tahapan-tahapan yang harus dilalui oleh guru dalam menerapkan penggunaan metode dengan penemuan (discovery learning) adalah sebagai berikut: 

Tabel Tugas pembelajaran dengan metode discovery learning 


Tahap Tingkah Laku Guru   
Tahap 1: 
Orientasi siswa pada masalah
Guru menjelaskan tujuan pembelajaran, menjelaskan bahan yang diperlukan, dan memotivasi siswa terlibat pada aktivitas pemecahan masalah.   
Tahap Tingkah Laku Guru   
Tahap 2: 
Mengorganisasi siswa untuk belajar
Guru membantu siswa mendefinisikan dan mengorganisasi tugas belajar yang berhubungan dengan masalah yang akan dipecahkan.   
Tahap 3: 
Membimbing penyelidikan individual maupun kelompok
Guru mendorong siswa untuk mengumpulkan informasi yang sesuai, melaksanakan eksperimen, untuk mendapatkan penjelasan dan pemecahan masalah.   
Tahap 4: 
Mengembangkan dan menyajikan hasil karya
Guru membantu siswa dalam merencanakan dan menyiapkan karya yang sesuai seperti laporan hasil praktikum, dan membantu mereka untuk membagi tugas dengan temannya.   
Tahap 5: 
Menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah
Guru membantu siswa untuk melakukan refleksi atau evaluasi terhadap penyelidikan dan proses yang mereka gunakan.  


A. Pengertian Pembelajaran Discovery Learning
Penemuan (discovery) merupakan suatu model pembelajaran yang dikembangkan berdasarkan pandangan konstruktivisme. Model ini menekankan pentingnya pemahaman struktur atau ide-ide penting terhadap suatu disiplin ilmu, melalui keterlibatan siswa ssecara aktif dalam proses pembelajaran.
Menurut Wilcox (Slavin, 1977), dalam pembelajaran dengan penemuan siswa didorong untuk belajar sebagian besar melalui keterlibatan aktif mereka sendiri dengan konsep-konsep dan prinsip-prinsip, dan guru mendorong siswa untuk memiliki pengalaman dan melakukan percobaan yang memungkinkan mereka menemukan prinsip-prinsip untuk diri mereka sendiri.
Pengertian discovery learning menurut Jerome Bruner adalah metode belajar yang mendorong siswa untuk mengajukan pertanyaan dan menarik kesimpulan dari prinsip-prinsip umum praktis contoh pengalaman. Dan yang menjadi dasar ide J. Bruner ialah pendapat dari piaget yang menyatakan bahwa anak harus berperan secara aktif didalam belajar di kelas. Untuk itu Bruner memakai cara dengan apa yang disebutnya discovery learning, yaitu dimana murid mengorganisasikan bahan yang dipelajari dengan suatu bentuk akhir.
Menurut Bell (1978) belajar penemuan adalah belajar yang terjadi sebagia hasil dari siswa memanipulasi, membuat struktur dan mentransformasikan informasi sedemikian sehingga ie menemukan informasi baru. Dalam belajar penemuan, siswa dapat membuat perkiraan (conjucture), merumuskan suatu hipotesis dan menemukan kebenaran dengan menggunakan prose induktif atau proses dedukatif, melakukan observasi dan membuat ekstrapolasi.
Pembelajaran penemuan merupakan salah satu model pembelajaran yang digunakan dalam pendekatan konstruktivis modern. Pada pembelajaran penemuan, siswa didorong untuk terutama belajar sendiri melalui keterlibatan aktif dengan konsep-konsep dan prinsip-prinsip. Guru mendorong siswa agar mempunyai pengalaman dan melakukan eksperimen dengan memungkinkan mereka menemukan prinsip-prinsip atau konsep-konsep bagi diri mereka sendiri.
Pembelajaran Discovery learning adalah model pembelajaran yang mengatur sedemikian rupa sehingga anak memperoleh pengetahuan yang belum diketahuinya itu tidak melalui pemberitahuan, sebagian atau seluruhnya ditemukan sendiri. Dalam pembelajaran discovery learning, mulai dari strategi sampai dengan jalan dan hasil penemuan ditentukan oleh siswa sendiri. Hal ini sejalan dengan pendapat Maier (Winddiharto:2004) yang menyatakan bahwa, apa yang ditemukan, jalan, atau proses semata – mata ditemukan oleh siswa sendiri.
Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa pembelajaran discovery learning adalah suatu model untuk mengembangkan cara belajar siswa aktif dengan menemukan sendiri, menyelidiki sendiri, maka hasil yang diperoleh akan setia dan tahan lama dalam ingatan, tidak akan mudah dilupakan siswa. Dengan belajar penemuan, anak juga bisa belajar berfikir analisis dan mencoba memecahkan sendiri problem yang dihadapi. Kebiasaan ini akan di transfer dalam kehidupan bermasyarakat.

B. Tujuan Pembelajaran Discovery Learning
Bell (1978) mengemukakan beberapa tujuan spesifik dari pembelajaran dengan penemuan, yakni sebagai berikut:
  1. Dalam penemuan siswa memiliki kesempatan untuk terlibat secara aktif dalam pembelajaran. Kenyataan menunjukan bahwa partisipasi banyak siswa dalam pembelajaran meningkat ketika penemuan digunakan.
  2. Melalui pembelajaran dengan penemuan, siswa belajar menemukan pola dalam situasi konkrit mauun abstrak, juga siswa banyak meramalkan (extrapolate) informasi tambahan yang diberikan
  3. Siswa juga belajar merumuskan strategi tanya jawab yang tidak rancu dan menggunakan tanya jawab untuk memperoleh informasi yang bermanfaat dalam menemukan.
  4. Pembelajaran dengan penemuan membantu siswa membentuk cara kerja bersama yang efektif, saling membagi informasi, serta mendengar dan mneggunakan ide-ide orang lain.
  5. Terdapat beberapa fakta yang menunjukan bahwa keterampilan-keterampilan, konsep-konsep dan prinsip-prinsip yang dipelajari melalui penemuan lebih bermakna.
  6. Keterampilan yang dipelajari dalam situasi belajar penemuan dalam beberapa kasus, lebih mudah ditransfer untuk aktifitas baru dan diaplikasikan dalam situasi belajar yang baru.


C. Strategi-strategi dalam Pembelajaran Discovery Learning
Dalam pembelajaran dengan penemuan dapat digunakan beberapa strategi, strategi-strategi yang dimaksud adalah sebagai berikut:
a. Strategi Induktif
Strategi ini terdiri dari dua bagian, yakni bagian data atau contoh khusus dan bagian generalisasi (kesimpulan). Data atau contoh khusus tidak dapat digunakan sebagai bukti, hanya merupakan jalan menuju kesimpulan. Mengambil kesimpulan (penemuan) dengan menggunakan strategi induktif ini selalu mengandung resiko, apakah kesimpulan itu benar ataukah tidak. Karenanya kesimpulan yang ditemukan dengan strategi induktif sebaiknya selalu mengguankan perkataan “barangkali” atau “mungkin”.


b. Strategi deduktif
Dalam matematika metode deduktif memegang peranan penting dalam hal pembuktian. Karena matematika berisi argumentasi deduktif yang saling berkaitan, maka metode deduktif memegang peranan penting dalam pengajaran matematika. Dari konsep matematika yang bersifat umum yang sudah diketahui siswa sebelumnya, siswa dapat diarahkan untuk menemukan konsep-konsep lain  yang belum ia ketahui sebelumnya. Sebagai contoh, untuk menentukan rumus luas lingkaran, siswa dapat diarahkan untuk membagi kertas berbentuk lingkaran menjadi n buah sector yang sama besar, kemudian menyusunnya sedemikian rupa sehingga berbentuk seperti persegi panjang dan rumus keliling lingkaran yang sudah diketahui sebelumnya, siswa akan dapat menemukan bahwa luas lingkaran adalah  .

D. Peranan Guru dalam Pembelajaran Discovery Learning
Dahar (1989) mengemukakan beberapa peranan guru dalam pembelajaran dengan penemuan, yakni sebagai berikut:
a. Merencanakan pelajaran sedemikian rupa sehingga pelajaran itu terpusat pada masalah-masalah yang tepat untuk diselidiki para siswa.
b. Menyajikan materi pelajaran yang  diperlukan sebagai dasar bagi para siswa untuk memecahkan masalah. Sudah seharusnya materi pelajaran itu dapat mengarah pada pemecahan masalah yang aktif dan belajar penemuan, misalnya dengan menggunakan fakta-fakta yang berlawanan.
c. Guru juga harus memperhatikan cara penyajian yang enaktif, ikonik, dan simbolik.
d. Bila siswa memecahkan masalah di laboratorium atau secara teoritis, guru hendaknya berperan sebagai seorang pembimbing atau tutor. Guru hendaknya jangan mengungkapkan terlebuh dahulu prinsip atau aturan yang akan dipelajari, tetapi ia hendaknya memberikan saran-saran bilamana diperlukan. Sebagai tutor, guru sebaiknya memberikan umpan balik pada waktu yang tepat.
e. Menilai hasil belajar merupakan suatu masalah dalam belajar penemuan. Secara garis besar tujuan belajar penemuan ialah mempelajari generalisasi-generalisasi dengan menemukan generalisai-generalisasi itu.

E. Aplikasi Pembelajaran Discovery Learning di Kelas
1. Tahap Persiapan dalam Aplikasi Model Discovery Learning
Seorang guru bidang studi, dalam mengaplikasikan metode discovery learning di kelas harus melakukan beberapa persiapan. Berikut ini tahap perencanaan menurut Bruner, yaitu:
a. Menentukan tujuan pembelajaran.
b. Melakukan identifikasi karakteristik siswa (kemampuan awal, minat, gaya belajar, dan sebagainya).
c. Memilih materi pelajaran.
d. Menentukan topik-topik yang harus dipelajari siswa secara induktif (dari contoh-contoh generalisasi).
e. Mengembangkan bahan-bahan belajar yang berupa contoh-contoh, ilustrasi, tugas dan sebagainya untuk dipelajari siswa.
f. Mengatur topik-topik pelajaran dari yang sederhana ke kompleks, dari yang konkrit ke abstrak, atau dari tahap enaktif, ikonik sampai ke simbolik.
g. Melakukan penilaian proses dan hasil belajar siswa (Suciati & Prasetya Irawan dalam Budiningsih, 2005:50).

2. Prosedur aplikasi discovery learning
Adapun menurut Syah (2004:244) dalam mengaplikasikan model Discovery Learning di kelas tahapan atau prosedur yang harus dilaksanakan dalam kegiatan belajar mengajar secara umum adalah sebagai berikut:
a. Stimulation (stimulasi/pemberian rangsangan).
Pertama-tama pada tahap ini pelajar dihadapkan pada sesuatu yang menimbulkan kebingungannya, kemudian dilanjutkan untuk tidak memberi generalisasi, agar timbul keinginan untuk menyelidiki sendiri (Taba dalam Affan, 1990:198).
Tahap ini Guru bertanya dengan mengajukan persoalan, atau menyuruh anak didik membaca atau mendengarkan uraian yang memuat permasalahan. Stimulation pada tahap ini berfungsi untuk menyediakan kondisi interaksi belajar yang dapat mengembangkan dan membantu siswa dalam mengeksplorasi bahan. Dalam hal ini Bruner memberikan stimulation dengan menggunakan teknik bertanya yaitu dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang dapat menghadapkan siswa pada kondisi internal yang mendorong eksplorasi.

b. Problem statement (pernyataan/ identifikasi masalah).
Setelah dilakukan stimulation langkah selanjutya adalah guru memberi kesempatan kepada siswa untuk mengidentifikasi sebanyak mungkin agenda-agenda masalah yang relevan dengan bahan pelajaran, kemudian salah satunya dipilih dan dirumuskan dalam bentuk hipotesis (jawaban sementara atas pertanyaan masalah) (Syah 2004:244).

c. Data collection (pengumpulan data).
Ketika eksplorasi berlangsung guru juga memberi kesempatan kepada para siswa untuk mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya yang relevan untuk membuktikan benar atau tidaknya hipotesis (Syah, 2004:244). Pada tahap ini berfungsi untuk menjawab pertanyaan atau membuktikan benar tidak hipotesis, dengan demikian anak didik diberi kesempatan untuk mengumpulkan (collection) berbagai informasi yang relevan, membaca literature, mengamati objek, wawancara dengan nara sumber, melakukan uji coba sendiri dan sebagainya (Djamarah, 2002:22).

d. Data processing (pengolahan data).
Menurut Syah (2004:244) data processing merupakan kegiatan mengolah data dan informasi yang telah diperoleh para siswa baik melalui wawancara, observasi, dan sebagainya, lalu ditafsirkan.
Data processing disebut juga dengan pengkodean coding/ kategorisasi yang berfungsi sebagai pembentukan konsep dan generalisasi. Dari generalisasi tersebut siswa akan mendapatkan penegetahuan baru tentang alternatif jawaban/ penyelesaian yang perlu mendapat pembuktian secara logis.

e. Verification (pentahkikan/pembuktian).
Verification menurut Bruner, bertujuan agar proses belajar akan berjalan dengan baik dan kreatif jika guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan suatu konsep, teori, aturan atau pemahaman melalui contoh-contoh yang ia jumpai dalam kehidupannya (Budiningsih, 2005:41).

f. Generalization (menarik kesimpulan/generalisasi)
Tahap generalitation/ menarik kesimpulan adalah proses menarik sebuah kesimpulan yang dapat dijadikan prinsip umum dan berlaku untuk semua kejadian atau masalah yang sama, dengan memperhatikan hasil verifikasi (Syah, 2004:244). Atau tahap dimana berdasarkan hasil verifikasi tadi, anak didik belajar menarik kesimpulan atau generalisasi tertentu (Djamarah, 2002:22). Akhirnya dirumuskannya dengan kata-kata prinsip-prinsip yang mendasari generalisasi (Junimar Affan, 1990:198).



SINTAKS PROJECT BASED LEARNING (PBL)

Dalam melaksanakan metode proyek ini dalam kegiatan belajar mengajar di laksanakan dalam enam tahap sebagai berikut :
Tahap I: Identifikasi masalah riil
Pembelajaran diawali dengan guru memberikan motivasi atau bertanya kepada siswa yang berkaiatan dengan masalah otentik yang ada dalam kehidupan sehari-hari, sehingga dalam uraian ini akan timbul suatu permasalahan yang nantinya akan dijawab atau diselesaikan oleh siswa.
Tahap II: Perumusan Strategi/Alternatif Pemecahan Masalah
Berdasarkan permasalahan yang sudah ada, siswa dalam kelompok belajar dengan bimbingan guru membuat perumusan strategi atau alternatif pemecahan masalah tersebut.
Tahap III: Perancangan Produk/Perancangan Kegiatan
Siswa bekerja dalam kelompok mencari semua informasi atau sumber pendukung untuk membuat suatu rancangan produk dan perencanaan pelaksanaan pembuatan produk.
Tahap IV: Proses produksi/Kegiatan
Setelah rancangan produk selesai dibuat, siswa mengumpulkan bahan dan menyusun produk sesuai dengan rancangan produk yang akan dibuat, selanjutnya dari hasil rancangan dan hasilnya di investigasikan kepada orang yang ahlinya.
Tahap V: Presentasi
Dari hasil yang didapatkan setiap kelompok mendemonstrasikan produknya kepada kelompok lain, sedangkan guru memberi penilaian pada hasil produk dari masing-masing kelompok.
Tahap VI: Evaluasi 
Memberikan soal latihan evaluasi secara individu untuk mengetahui kemampuan dalam menerima konsep materi yang dikembangkan sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar